Alam dan Kehidupan

Oleh: Gempur Santoso

(Gubes Umaha dan Penasehat ICMI-Muda Jatim)

Alam itu tampak dapat dihitung secara matematik. Prakiraan. Tapi tepat juga walau tak mutlak. Misal: menghitung kapan akan terjadi gerhana matahari. Kapan akan terjadi gerhana bulan. Kapan prakiraan berawan. Kapan prakiraan akan terjadi musim angin. Dan lain-lain.

Alam dihitung digunakan juga oleh para pelaku profesi: petani, nelayan, pedagang, pembuat produk. Dan lain-lain.

Misal untuk petani, harus tahu musim, dan tanaman apa yang cocok di taman. Misal lagi perencanaan jumlah produk tertentu berapa besar yang harus di produksi, pakai hitungan fore casting (peramalan). Dan sebagainya.

Namun, kehidupan di alam tak bisa dihitung secara matematik. Banyak cerita awal tak memiliki dana cukup, kok juga mampu kuliah sampai lulus. Cerita lagi, berangkat haji perlu dana, biasa-bisa saja ekonominya “ndilallah” kok ya bisa berangkat naik haji.

Bahkan ada seorang muslim yang kaya harta (sugih bondo) pun tak bisa berangkat haji. Berhaji menjalankan rukun Islam.

Oleh karena itu, kehidupan tak bisa dihitung. Yakin dan percaya bahwa “rejeki, jodoh, pati (wafat) adalah hak Allah SWT”.

Hak manusia hanya pada menanam dan merawat kebaikan dalam kehidupan. Sesuai perintah dan menjahui larangan Tuhan.

Tampaknya kunci kehidupan adalah “norma” agama maupun budaya.

Kekeliruan penerapan penghitungan alam dan kekeliruan dalam kehidupan di alam, tentu memiliki dampak negatif. Ataupun sebaliknya. Maka, perlu terus belajar “hablumminAlloh dan hablumminanas” (hubungan vertikal dengan Yang Maha Pencipta dan hubungan horisontal sesama manusia lingkungan alam semesta), untuk berbuat baik dan banar.

(GeSa)