Demi Hukum Pada Hukum Memiliki Etik dan Etika
Oleh: Gempur Santoso
Apenso.id – Apakah dengan alasan “kebebasan” (liberal) semua terkait etika bebas diterjang. Hukum atau etik diterjang. Tentu saja tidak, karena etik dan etika sangat erat dengan sopan-santun kebenaran budaya setempat.
Harapan, produk hukum memiliki etik yang implementasinya beretika. Tak sekadar siasat demi hukum semua etika diterjang.
Kita terkenal sebagai orang timur, memiliki adat budaya ketimuran. Memiliki adat budaya sopan-santun. Memiliki adat budaya “teposloro” (tepo= tepak= tepat= pas, dan sliro= awak= diri sendiri) artinya harus tepat dalam meletakkan diri sendiri. Dalam situasi apapun.
Budaya ketimuran, selalu memberi kebaikan pada orang lain. Misalkan saja, bila berkendara maka kendaraan orang lain ditaruh di sebelah kanan. Kita berkendara di sebelah kiri.
Misalkan lagi, kalau memberi kepada orang lain harus menggunakan tangan kanan. Malah memberi ke orang lain dengan tangan kiri dianggap penghinaan.
Termasuk memberi makanan pada orang lain, harus yang bagus, layak dimakan. Kalau dimakan sendiri yang cukup saja. Pada intinya, budaya ketimuran sangat menghormati orang lain.
Bahkan, ketika membagi sesuatu pun harus menghormati orang lain, adil, dan merata. Mau berkorban. Yang diberi bagian sebaiknya semua mendapat (kebagian). Yang membagi cukup sisa-sisa saja, bahkan tak kebagian pun tak apa dan dilakukan ikhlas.
Nakalan bukan adat ketimuran. Apa yang biasa disebut “nakalan”. Sejak kecil sering kita mendengar kata “nakalan”. Kata “nakalan” itu identik curang. Mengatur-atur, tapi yang mengatur dibaliknya mendapat keuntungan lebih besar. Itu perbuatan “nakalan” alias curang.
Jelas perbuatan “nakalan” alias curang adalah bukan adat ketimuran. Kalau orang beragama curang itu menyalahi hukum agama. Curang itu pun identik tidak jujur.
Seperti mencuri timbangan. Artinya ukuran berat barang tidak pas atau berkurang. Karena alat timbangannya “disubal” diberi pemberat. Itu “nakalan” atau “curang”.
Termasuk kata demi hukum, tetapi hukumnya itu nakalan” atau “curang”. Buat apa. Hanyalah hukum “subalan”, dibaliknya untuk menutupi “kecurangan”. Jelas itu tak memiliki adat budaya kebenaran ketimuran. Jelas itu “nakalan” alias curang alias tak jujur. Semua itu, tak memiliki etik dan etika.
Semoga kita selalu menghormat orang lain dan tetap jujur alias tidak curang. Dan, selalu sehat lahir batin… Aamiin YRA.
(GeSa)