Ilmu Guru Jangan Paksakan Dicampur

Oleh : Gempur Santoso

Saat perjalanan akan silaturohim ke orang tua dan famili Kediri. Istirahat dulu di rest area. Tak disangka, bertemu seorang pedagang. Dulu, bawa mobil kirim beras. Kebetulan juga dia anak seorang Kyai.

Ngobrol bersama dia. Sambil minum wedang kopi. Gayeng. Kata beliau, saat ini menjadi kepala sekolah. Guru.

Menjadi pedagang itu baik. Menjadi guru pun baik. Apa beda pedagang dan guru? Tentu beda, yang tidak baik itu menjadi guru terus “men-dagangi” murid. “Mem-bisnisi” murid.

Mem-bisnisi murid itu bukan entrepreneur. Mem-dagangi murid itu bukan menanamkan jiwa entrepreneur. Bolehlah guru mendidik murid ilmu entrepreneur. Jangan sampai murid menjadi pangsa pasar guru, langsung.

Guru mem-bisnisi murid, bila itu terjadi, bagaikan “mengencingi lantai rumah sendiri”. Pesing.

Dagang itu, mencari untung dengan memindah barang yang dijual. Guru, mendidik murid agar dewasa berilmu dan berakhlak mulia.

Itu ilmunya jelas beda antara guru dan pedagang. Semua Ilmu itu baik, kalau otonom.

Kalau ilmu dicampur, menjadi tidak baik. Seperti tembakau “enak”, dicampur kopi “enak”. Bila dicampur menjadi “wedang tidak enak”.

Seperti juga kalau menjadi polisi hutan, tentu pakai ilmu polisi. Kalau bersamaan polisi itu mendirikan usaha penggergajian kayu, pakai ilmu perusahaan. Jelas akan sulit membedakan ilmu polisi hutan yang sebenarnya, dengan penebangan hutan ilegal. Sulit membedakan ilmu polisi dengan ilmu usaha pabrik. Ilmu itu pun sulit dicampur.

Guru, haruslah menjadi guru saja. Pakai ilmu guru. Kalau toh mencari sambilan, karena pengahilan tak cukup. Hindarilah murid menjadi pangsa pasar.

Jadilah guru yang sebenarnya. Muridnya guru, itupun manusia. Gurunya juga manusia. Guru sebagai manusia sama murid pun manusia. Oleh karena itu, guru harus tahu tentang manusia.

Agar tahu manusa. Setidaknya belajarlah “ilmu psikologis perkembangan manusia” atau “buku psikologi, tumbuh kembang manusia”. Selamat mejadi guru sejati.

(GeSa)