KEBERANIAN MENGAMBIL RISIKO

Oleh: Suryadi

Direktur Pendidikan Apenso Indonesia

Orang yang bijak lebih suka mempertimbangkan secara matang segala aspek yang terkait dengan suatu permasalahan sebelum keputusan tertentu dibuat. Jika suatu persoalan telah diputuskan, maka ia sanggup menanggung resiko sebagai akibat keputusannya itu. Banyak pemimpin yang tidak berani mengambil risiko, sehingga sering terjadi pelimpahan tanggung jawab kepada pihak lain baik perorangan atau kelompok. Bahkan sering pula orang lain atau kelompok dijadikan sebagai “kambing hitam”.

Keberanian mengambil risiko merupakan bagian penting dari proses pembuatan keputusan terutama yang menyangkut persoalan penting atau mendasar. Contoh, beberapa aktivis mahasiswa yang secara sadar telah memutuskan untuk melibatkan diri dalam organisasi kemahasiswaan atau politik disamping kuliah. Keputusan ini tentu mengandung risiko, antara lain misalnya penyelesaian studi terhambat, prestasi belajar jatuh, dan kemungkinan tidak disukai sejumlah dosen atau pejabat kampus. Bahkan, jika ia terlibat dalam kegiatan yang tidak diharapkan oleh lingkungan, boleh jadi akan berhubungan dengan pihak yang berwajib. Risiko semacam ini seringkali tidak terpikirkan secara mendalam oleh seorang mahasiswa, meski di sisi lain ia mendapatkan pengalaman berorganisasi yang sering sangat berguna setelah lulus.

Beberapa keputusan yang diambil juga dapat terjadi dalam situasi yang sangat dilematis, sehingga adanya risiko yang harus diterima juga tidak dapat dielakkan oleh seseorang. Contoh, sebuah pepatah mengatakan:”ibarat makan buah simalakama, jika dimakan maka Ibu yang mati; jika tidak dimakan maka Bapak yang mati; seorang dokter harus mengambil keputusan antara menyelamatkan bayi atau ibunya, ketika proses persalinan mengalami kesulitan. Dalam situasi demikian, meski dengan hati yang sangat berat, namun seorang pembuat keputusan harus menetapkan satu pilihan antara dua pilihan yang memang sama-sama sulit untuk dilakukan.***