Kurikulum: Dari Shallow ke Deep Learning

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid

Rosyid College of Arts

Mendikdasmen Abdul Mu’thi meluncurkan kebijakan deep learning yg terdiri paling tidak dari mindful, meaningful dan joyful learning. Mungkin ada penilaian bahwa kebijakan Merdeka Belajar telah menyebabkan terjadinya shallow learning sehingga kinerja PISA kita anjlog makin mengkhawatirkan. Saya setuju dengan kebijakan baru ini, namun itu mensyaratkan perubahan tata kelola pendidikan yg sudah lama dimonopoli hampir secara radikal oleh persekolahan. Apalagi jika UN diberlakukan kembali sebagai penentu kelulusan, saya bisa pastikan deep learning will only be easier said than done.

Sekalipun ada narasi bahwa kementrian Dikdasmen meninggalkan paradigma schooling berpindah ke paradigma learning, ini tidak diterjemahkan secara eksplisit sebagai perubahan tata kelola atau governance untuk education as public goods. Persekolahan telah menggeser pendidikan sebagai barang privat yang makin langka dan mahal. Apalagi internet telah memaksakan perubahan tata kelola dengan melubangi tembok2 sekolah yg tinggi dan tebal.

Ki Hadjar jauh hari sudah mengingatkan tiga pilar pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat dan perguruan. Ki Hajar menggunakan diksi perguruan, bukan persekolahan karena baginya guru lebih penting daripada sekolah. Makin terbukti bahwa sekolah sering berusaha terlalu keras untuk memberi pesan dan kesan bahwa sekolah adalah tempat belajar terbaik, meremehkan peran keluarga dan masyarakat. Lalu muncul persepsi lalu keyakinan bahwa tidak bersekolah berarti kampungan atau tidak terdidik.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja belajar lebih banyak ditentukan oleh muridnya sendiri, dan guru, bukan kurikulum. Kurikulum tidak pernah menjadi determinan kinerja belajar murid yg penting. Sugata Mitra sudah menunjukkan bahwa kurikulum yg ketat tidak dibutuhkan oleh murid dengan kecerdasan rata2. Sugata mengajukan konsep Self Organized Learning Environment SOLE) sebagai cara menata kelola pendidikan sebagai upaya perluasan kesempatan belajar, bukan kesempatan bersekolah. Murid yg sehat yang dibesarkan oleh keluarga yg membaca, tidak akan terlalu terpengaruh oleh sekolah yg miskin sarana dan guru yang tidak kompeten.

Sementara itu, Ivan Illich justru lebih radikal untuk membebaskan pendidikan dari hegemoni persekolahan dengan mengusulkan deschooling society pada awal 1970an. Illich pernah pergi ke pondok pesantren Pabelan, Muntilan, dan menunjuk pesantren sebagai model institusi belajar yang lebih baik daripada sekolah. Lagi pula Illich tahu bahwa sekolah massal hanya instrumen teknokratik untuk menyiapkan tenaga kerja yg cukup trampil untuk menjalankan mesin2 sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi para pemilik modal. Deep learning mengandaikan pembelajaran yg pupil-centered, sedangkan persekolahan massal justru top down, outside-in and supply-driven.

Kelemahan terbesar persekolahan sebagai built environment adalah keteraturan dan kenyamanannya. Padahal untuk mindful, meaningful, and joyful learning belajar perlu lebih beresiko, tidak teratur, dan tidak nyaman. Mengapa ? Belajar adalah proses memaknai pengalaman 3D. Pengalaman yg kaya hanya dapat diperoleh di luar sekolah dengan resiko yg lebih nyata.***

● KA Turangga Menuju Bandung. 12 Nov. 2024.