Membangun Pendidikan Yang Memerdekakan

Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts

apenso.id

Beberapa hari terakhir kita terusik dengan nasib seorang guru honorer di Konawe, Sulawesi Tenggara yg dituduh menganiaya salah satu muridnya yg ternyata anak seorang polisi. Ibu ini sudah menjadi guru selama lebih dari 15 tahun, tapi statusnya masih saja honorer. Setelah diadvokasi oleh PGRI setempat, Ibu Guru ini bisa dibebaskan dari tahanan sementara walaupun kasus hukumnya tetap berjalan.

Kasus ini mencerminkan carut marut birokrasi daerah, terutama setelah otonomi daerah diberlakukan sejak era reformasi. Hal ini mungkin sudah tercium Pak Aries Marsudiyanto, kepala Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus di bawah Presiden Prabowo. Akibat biaya politik yg tinggi dalam Pilkada, banyak Kepala Daerah yg terjebak dalam KKN yang meracuni birokrasi daerah. Pelayanan dasar seperti pendidikan menjadi korban pertama. Kesehatan menjadi korban berikutnya sehingga indeks kelaparan kita salah satu yg tertinggi di ASEAN, termasuk angka stunting yang mencapai 20%. Inilah yg menjadi sebagian motif program makan siang bergizi pemerintahan Prabowo.

Sebab lainnya adalah institusi keluarga yang makin rapuh, yang tidak hanya tidak mampu mendidik anak2 mereka sendiri, tapi juga tidak kompeten memberikan sarapan bergizi bagi anak2 mereka sendiri. Kita mesti bertanya ke NU dan Muhammadiyah, juga Wahdah Islamiyah mengapa banyak keluarga yg gagap mengemban tugas2 tarbiyah dan kesehatan dasar ini. Ini sebagian menunjukkan jejaring keamanan sosial kita yang rusak oleh kehidupan yg makin individualistik.

Memang masalah yg mendera Sistem Pendidikan Nasional kita bukannya kurang gedung2 sekolah atau guru, tapi justru kebanyakan. Too much schooling yet less education. Rekrutmen guru di Indonesia adalah salah satu rekrutmen terburuk. Banyak kampus eks IKIP menyerah, lalu mulai merambah ke bidang2 non-kependidikan. Banyak guru yg tidak pernah bermimpi jadi guru, karena cita2nya hanya menjadi PNS. Padahal, tugas pendidikan adalah menyediakan prasyarat2 budaya bagi bangsa yg merdeka, yaitu generasi muda yg berjiwa merdeka. Bagaimana menebarkan jiwa merdeka di kalangan generasi muda jika guru2nya dipaksa bermental pegawai ?

Sistem persekolahan yg kini hampir2 memonopoli Sisdiknas tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sistem persekolahan adalah instrumen teknokratik untuk menyiapkan tenaga kerja yg cukup trampil menjalankan mesin2 sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal. Banyak Pemerintah Daerah hanya memandang pendidikan dengan sebelah mata, bahkan sebagai cost centre, bukan sebagai instrumen investasi masa depan. Sekolah yg undermanaged seperti ini menjadi mesin budaya yang menyulitkan kita membangun budaya meritokratik untuk bersaing dengan China.

Makan siang bergizi jelas penting, tapi menguatkan keluarga agar mampu menyediakan sarapan dan makan malam yg tidak kalah bergizi juga penting. Kita tidak mungkin membangun generasi muda yg sehat tanpa membangun keluarga yg sehat. Menggantungkan pendidikan hanya pada sekolah saja tidak akan pernah berhasil. It takes a village to raise a child. Desa2 kita harus kita bangun agar tidak mengalami brain draining karena ditinggal pergi pemuda2nya ke kota untuk sekedar jadi buruh. ***

● Gunung Anyar, Surabaya. 24 Oktober 2024