Netralitas Jokowi

Apenso.id // Kekuasaan Jokowi berakhir Oktober 2024. Tinggal 15 bulan lagi. Namun, sejatinya, pasca pencoblosan Pilpres 14 Februari 2024, pamor Jokowi mulai meredup.

Sebab, hasil pilpres sudah memunculkan penguasa baru. Tentu semut mulai mendekat ke gula baru. Itu alamiah. Itu perilaku politik yang terus berulang.

Saat ini Jokowi sangat kuat. Kuat tak hanya sebagai presiden, tapi juga mampu mengendalikan sebagian besar parpol. ”Saat ini siapa yang menang di pilpres tergantung Jokowi,” kata salah seorang aktivis yang kini menjadi komisaris BUMN.

Itu hanya untuk menggambarkan pengaruh besar Jokowi. Realitas itu juga terlihat dari ”meriahnya” langkah Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi, yang ingin maju menjadi wali kota Depok.

Si bungsu yang baru berusia 28 tahun itu tak akan kesulitan untuk mencari parpol yang mengusungnya.

Sejauh ini, dari berita yang muncul, parpol seperti PDIP, Golkar, PAN, Gerindra, dan PSI berlomba-lomba siap menjadi kuda tunggangan Kaesang.Setali tiga uang dengan kakak dan kakak ipar Kaesang yang dikabarkan akan ”naik kelas” jadi gubernur.

Gibran Rakabuming, wali kota Solo, saat ini sudah santer diberitakan akan maju jadi gubernur Jateng. Bobby Nasution, wali kota Medan, menurut isu yang berkembang, maju dalam pilgub Sumatera Utara mendatang.

Keduanya pun bakal tak sulit mendapat partai pengusung.Yang juga menarik diamati nanti, jarak pilpres dan pilkada serentak sembilan bulan. Pilpres Februari 2024, pilkada serentak November 2024. Artinya, saat pilkada serentak digelar, sudah ada pergantian presiden.

Dengan kata lain, ketika Gibran, Bobby, dan Kaesang bertarung di pilkada, Jokowi sudah tidak lagi jadi presiden. Itu, bila kita berpatokan dengan kalender politik nasional, presiden yang baru dilantik Oktober.

Apakah teori ada gula ada semut akan berlaku. Apakah pesona Jokowi pascapresiden akan tetap kuat? Apakah Gibran dan Bobby yang dulu bisa melewati berbagai rintangan bisa kembali menang dengan mudah? Atau, apakah Kaesang juga akan lancar-lancar menang di Depok?

Tujuh bulan ke depan tentu menjadi masa-masa menentukan bagi Jokowi. Sikap dan langkah Jokowi sekarang menentukan posisi politiknya nanti.

Kalau diibaratkan, Jokowi kini berdansa di tengah parpol. Langkahnya berayun antara capres dukungan PDIP, yakni Ganjar Pranowo, atau Prabowo Subianto.

Sementara itu, sikapnya dengan kubu pendukung Anies Baswedan sudah sangat terlihat berseberangan.Sikap Jokowi terbaca akan mendukung calon tertentu. Ada ”Putra Mahkota” di kantongnya.

Beberapa nama dan kode sudah sering disebutkan. Sikap itu mempunyai untung rugi dan risiko politik.Contohnya saat suksesi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Putaran pertama, Demokrat netral karena tak mengusung calon.

Di putaran kedua, Demokrat bersikap pro-Prabowo-Hatta. Begitu berganti kekuasaan, semua berubah dengan cepat. Partai yang dulu bagian dari koalisinya di pemerintahan langsung jaga jarak.

Bahkan, di akhir jabatan SBY, parpol-parpol di kabinet sudah membangun koalisi sendiri-sendiri. Parpol mengerumuni gula baru.

Kalau yang didukung menang, tentu Jokowi akan happy saat lengser. Paling tidak, akan nyaman memberikan masukan kepada penggantinya.Lain halnya bila pemenang bukan capres yang didukung.

Jokowi akan dengan cepat dilupakan semut-semut yang memburu gula baru. Alamiah juga, perjalanan politik anak dan mantunya tak akan semulus saat ini.

Apalagi, Jokowi merupakan presiden yang tak mempunyai basis politik permanen. Dalam arti, tidak punya parpol seperti Megawati atau SBY.Saat Megawati turun takhta, masih ada PDIP yang menjadi ”bumper” politik dia. Sekaligus kendaraan politik untuk bangkit lagi. Demikian halnya dengan SBY yang punya Demokrat.

Ketika lengser, walaupun ”kehilangan” parpol, Gus Dur masih punya basis nahdliyin yang sangat loyal. Habibie turun tanpa beban karena sikapnya yang netral untuk pemilihan presiden pengganti.

Walaupun memiliki Golkar, Habibie memilih turun dengan tenang. Caranya, ia tak bersedia mencalonkan diri lagi. Juga, tak mau repot mempersiapkan putra mahkota.

Tahun depan Jokowi pun turun takhta. Walaupun saat ini media konvensional dan medsos berisik dengan berita dukung-mendukung, tentu masih banyak yang berharap –termasuk saya– agar presiden sebagai kepala negara bersikap netral. Sebab, siapa pun yang menang akan membuat pergantian kekuasaan berjalan smooth.

Ditulis Oleh : Sabrina Rif’atus Syarifah
Nim: 222020100158
Mahasiswa Fakultas Bisnis, Hukum dan Ilmu Sosial (Administrasi Publik)
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo