Pola Relasi Baru NU-Muhammadiyah
APENSI.ID || HUBUNGAN antara Muhammadiyah dan NU makin cair. Potensi benturan di tingkat akar bawah antar keduanya semakin berkurang. Suasana itu jauh berbeda dengan empat dekade yang lalu. Bahkan, jauh dari itu, konflik bisa sampai di tingkat akar rumput.
Peringatan seabad NU di Sidoarjo menjadi salah satu ekspresi terbaru potret hubungan antarorganisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Diikuti peringatan harlah yang digelar PAN (Partai Amanat Nasional) yang selama ini berbasis Muhammadiyah.
Seperti diketahui, dua partai politik pengikut ormas Islam lahir setelah reformasi politik Indonesia pada 1998. Dua partai itu adalah PAN dan PKB. PAN berbasis massa Muhammadiyah dan PKB berbasis massa NU. Bahkan, yang terakhir didirikan PBNU sebagai instrumen politik NU.
Tentu dua peristiwa itu hanya bagian dari titik kulminasi dari ekspresi pola relasi baru NU-Muhammadiyah. Relasi yang makin menunjukkan makin banyak irisan kenyamanan ketimbang perbedaan. Isu perbedaan atau khilafiah tentang agama semakin berkurang. Apalagi, semakin tidak ada.
Ada kesadaran bersama di kalangan elite dua ormas itu untuk saling mendekat. Terutama dalam kepentingan untuk bersama-sama menjadi pilar utama negara-bangsa. Sebagai bagian yang amat penting dalam menjaga ke-Indonesia-an.
Sebelum empat dekade lalu, persoalan khilafiah terkadang masih mencuat ke permukaan. Soal ziarah kubur, doa kunut dalam salat Subuh, jumlah rakaat dalam salat Tarawih, dan salat Id di masjid atau lapangan. Perdebatan soal itu kini makin hilang dari permukaan.
Para dai dan ulama antara kedua ormas Islam tersebut sudah tidak lagi menganggap penting mempersoalkan itu. Bahkan, ada upaya untuk menyambungkan sanat keilmuan agama antara keduanya. Itulah yang tampak dikemukakan KH Bahauddin Nursalim alias Gus Baha dari NU maupun Ustad Adi Hidayat dari Muhammadiyah.
Pemikiran dan ceramah-ceramah keduanya memiliki jangkuan yang lebih luas dengan adanya revolusi digital. Melalui perkembangan teknologi informasi, ceramah keduanya bisa menembus dinding-dinding sekat antara kedua ormas. Berbeda dengan sebelum ini. Ceramah keduanya hanya terbatas pada komunitas tertutup dari ormas masing-masing karena sifatnya yang hanya bisa tatap muka.
Rasanya makin menarik mencermati pola relasi baru dari kedua ormas Islam besar itu. Dari keduanya kita berharap bukan hanya menjadi pilar negara. Tapi, juga dari keduanya kita berharap umat bisa mengambil peran dalam perubahan dunia yang makin cepat.
Penulis : Gus Imam Mu’iz
Editor : Hasyem Asy Ari