Sistem Penjaminan Mutu Jadi Alat Ukur Pendidikan di Pesantren

Apenso.id // Majelis Masyayikh segera menerapkan sistem penjaminan mutu yang saat ini tengah disusun aturannya untuk menjadi alat ukur bagi satuan pendidikan pondok pesantren di Indonesia.

“Antusiasme masyarakat saat ini meningkat, sehingga perlu ada penjaga mutu internal,” ujar Anggota Majelis Masyayikh, Muhyiddin Khotib, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Majelis Masyayikh adalah lembaga induk penjaminan mutu pesantren yang dibentuk berdasarkan UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren dan Keputusan Menteri Agama Nomor 1154 Tahun 2021 tentang Majelis Masyayikh yang menetapkan sembilan orang anggota dari unsur pesantren di Indonesia.

Pembentukan Majelis Masyayikh menjadi konsekuensi dari pengakuan pemerintah sepenuhnya terhadap pesantren, sehingga pesantren harus dapat menjaga mutunya secara mandiri.

Muhyiddin mengatakan, barometer utama penentuan mutu pesantren tidak akan lepas dari penguasaan kitab kuning. Pondok pesantren secara tradisional telah menggunakan kitab kuning sebagai silabus pembelajaran.

Untuk itu kitab kuning diposisikan sebagai bahan ajar utama yang menjadi sumber segala rumpun pengetahuan di pesantren.

Menurutnya, sebagaimana tertuang dalam UU No 18 Tahun 2019, satuan pendidikan pesantren dijalankan melalui dua jalur. Yang pertama pengkajian kitab kuning secara berjenjang dan tidak berjenjang, yang kedua adalah jalur terintegrasi dengan pendidikan umum.

“Kedua jalur ini tidak akan dibiarkan berjalan tanpa ukuran yang jelas,” kata dia.

Ia mengatakan standar mutu disusun secara kolaboratif antara Majelis Masyayikh di tingkat pusat dengan satuan kontrol pengawasan pendidikan di unit pesantren yang disebut Dewan Masyayikh.

“Pengakuan negara terhadap pesantren tak lepas dari pengakuan masyarakat terhadap pesantren sehingga hal ini harus dijaga,” kata dia.

Mekanisme penjaminan mutu ini, kata dia, bukan memaksakan ukuran pusat kepada pesantren, akan tetapi memberikan kewenangan dan kebebasan bagi pesantren untuk mengatur, mengelola, dan mengembangkan program pendidikan nonformal mereka sendiri.

Dengan demikian pesantren dapat memiliki peran yang lebih aktif dan memiliki fleksibilitas dalam menyusun kebijakan dan prosedur untuk memastikan kualitas pendidikan yang dijalankan di luar pendidikan formal.

Prinsip otonomi pesantren tersebut termasuk dalam pengembangan kurikulum, pengelolaan program, pemberdayaan pengasuh dan guru, dan evaluasi serta pemantauan internal. Ukuran-ukuran yang ditentukan tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dengan ketentuan yang baku.

“Namun demikian sistem ini tetap akan tunduk kepada undang-undang yang berlaku. Pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional,” pungkasnya.***