TERSOSIALISASI “PEJUANG PEMIKIR, PEMIKIR PEJUANG”
Oleh: Gempur Santoso
Apenso.id – Kalimat “pejuang pemikir, pemikir pejuang”. Setidaknya pernah saya lihat dan dengar di tiga tempat organisasi.
“Pejuang pemikir, pemikir pejuang”. Kalimat itu, awal mengenal di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Selanjutnya, melihat dan mendengar di kalangan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Dengar-dengar di TNI kalimat itu paling awal digunakan. Dan, terakhir melihat dan mendengar saat acara wisuda Universitas Maarif Hasyim Latif (Umaha) Sidoarjo, pada bagian pembacaan “panca prasetya wisudawan”.
“Pejuang pemikir, pemikir pejuang”. Tampak digemari berbagai kalangan. Mengapa? Karena penuh perjuangan pun penuh pemikiran. Tidak ngawur. Tidak awur-awuran.
Kalau “hidup” ini dimaknai “perjuangan”, maka penuh pemikiran untuk memilih di jalan benar. Itu sangat perlu. Artinya berfikir sesuatu yang dianggap benar sesuai kemampuan dan kebutuhan (bijaksana) kemudian dilakukan dan diperjuangkan. Dalam perjuangan tetap pada koridor etik dan etika.
Perjuangan paling besar adalah perjuangan mengendalikan hawa nafsu pribadi. Banyak orang berpangkat, menjabat, bergelimang harta. Dalam berita, ternyata sebagai koruptor. Jelas, itu perilaku korupsi (mencuri).
Mengapa korupsi dilakukan? karena perjuangan mengendalikan diri pribadi memiliki posisi lemah. Iman lemah. Kebobolan pengendalian hawa nafsu. Lemah perjuangan hidupnya.
Uraian di atas, itulah pejuang pemikir.
Kemudian, pemikir pejuang. Artinya memikirkan juga orang lain. Anggap orang lain pun pejuang kehidupannya. Memikirkan agar kita bisa berbuat yang tidak menyakiti rasa hati orang lain. Tidak mencaci orang lain. Tidak mengkambinghitamkan orang lain. Tidak “memeras” orang lain. Tidak “menjajah” orang lain. Dan, sebagainya yang membuat orang lain mengalami rasa sakit hati.
Juga, pemikir pejuang. Memikirkan orang lain agar merasa terpuji. Merasa “di-orang-kan”. Orang lain tetap damai, aman dan nyaman. Dan, sebagainya yang membuat orang lain tidak merasa terhina.
Pejuang pemikir, pemikir pejuang. Itu bukan mau berjuang masih mikir-mikir. Ragu-ragu.
Sifat ragu-ragu merupakan sifat mengambang. Bisa jadi karena belum tuntas dalam pemikiran sehingga belum ketemu kejelasan sikap. Bisa jadi karena belum tahu yang sebenarnya, atau belum tahu yg benar. Hal itu menjadi ragu. Bimbang. Dan, mengambang.
Dalam keyakinan kita. Jika mengalami keraguan, sebaiknya ditinggalkan dulu. Atau, tidak dilakukan dulu. Bahkan dalam posisi keterbatasan pemikiran, maka memohon untuk mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Berpikir itu penting. Berlatih berfikir juga penting agar bisa adapted mampu berfikir.
Dalam firman disebutkan, artinya “yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk lain adalah akalnya (berfikir)”. Semoga kita tetap sebagai makhluk manusia yakni selalu berfikir menggunakan akalnya masing-masing.
(GeSa)