UTAMAKAN SOSIALISASI BURUH DIBANDING JURAGAN DAN HARDIKNAS
Oleh: Gempur Santoso
Apenso.id – Secara nasional menjadi hari libur bisa dimaknai “istimewa”.
Hari buruh 1 Mei. Secara nasional menjadi hari libur. Dikesankan. Di-mindset-kan. Diistimewakan. Bahkan disebutkan buruh adalah “pejuang” ekonomi.
Esoknya, hari pendidikan nasional (hardiknas) 2 Mei. Tetapi tidak lagi menjadi hari libur nasional. Bisa dibilang tidak lagi “istimewa”. Bisa pula dibilang pendidikan “tidak istimewa” lagi.
Dianggap pendidikan tidak menjadi penting atau menjadi biasa saja. Menjadi buruh menjadi penting. Menjadi buruh mampu kerja. Kerja yang produktif dan punya gaji yang cukup/dibatasi ataupun banyak.
Hari buruh selain hari libur nasional juga diperingati “besar-besaran”. Buruh turun ke jalan disebut demo buruh. Menjadi perhatian karena sampai memacetkan lalu lintas di jalan. Di kawal pengawal. Diistimewakan. Seolah sosialisasi tentang buruh. Seolah dikatakan “jadilah buruh”.
Sementara hardiknas sepi-sepi saja. Hanya beberapa insan peduli pendidikan meng-upload hardiknas di media sosial (medsos). Dengan tidak ada kemeriahan, sepi-sepi saja, bisa dikata pendidikan tidak disosialisasikan.
Diduga utamakan menjadi buruh, sebab yang diperingati atau yang disosialisasikan hari buruh. Barangkali jika yang disosialisasikan “hari juragan” memiliki tujuan rakyat menjadi pemilik usaha. Atau mampu membuat usaha atau industri.
Menjadi buruh konsumtif saja. Buruh tanpa mampu mendirikan usaha atau mengelola usaha membuat produk ataupun dagang. Kalau belajar juragan memiliki kemampuan mengelola dan mendirikan usaha/industri/pabrik.
Barangkali pula pendidikan formal menjadi biasa saja, tanpa kemeriahan peringatan hardikdas. Pendidikan tampaknya diarahkan informal. Atau, ilmu didapatkan dari informal. Bekerja sebagai buruh sambil belajar mendapakan ilmu, non-kualifikasi.
Tampak saat ini utama menjadi buruh dibanding kualifikasi pendidikan dan menjadi pengusaha besar/industri atau mampu membuat usaha.
Semoga tetap sehat lahir batin… Aamiin.
(GeSa)